Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya.

VALIDATOR KEBENARAN, LINK YANG NYARIS HILANG

Kontributor Topik:
Mas Satria, Purwakarta, 26 Maret 2009.
Penyiar: Dave Ameral.

Syarat-syarat apakah, untuk menentukan sebuah kebenaran itu, syarat-syaratnya apa Wo? Terus, yang dimaksud perilaku yang salah itu yang bagaimana? Karena saya pernah mendengar bahkan membunuhpun bisa jadi benar, gitu. Terimakasih sebelumya.



Yang saya pahami dari agama Islam. Sesuatu disebut benar manakala memenuhi dua syarat, yaitu dia sesuai dengan dalil aqli dan dalil naqli. Jadi ada dua validator untuk menentukan kebenaran, yaitu aqli dan naqli. Meskipun ada pula yang menambah dengan satu validator lagi, yaitu validator nurani.

Bisakah kita mengukur sesuatu, tetapi kita belum mempunyai alat ukur yang pasti untuk mengukur sesuatu itu? Kita mau mengukur panjang, tapi alat ukurnya belum punya. Kita mau mengukur berat suatu benda atau panjang suatu benda, tapi alat ukunya belum punya. Nah, bagaimanakah kita bisa mengukur kalau alat ukurnya tidak jelas. Ya, jatuhnya adalah mengukur yang sembarang... Gitu kan...?
Nah, kalau kita mau mengukur kebenaran, dengan apa? Kalau alat ukurnya salah, mungkinkah kita bisa mengukur suatu kebenaran, sementara alat ukurnya saja salah. Bisakah kita mengukur panjang benda dengan timbangan? Itu alat ukurnya salah.
Bukan hanya ngukur, kadang-kadang sampai mengklaim dan menghakimi, kadang-kadang bukan hanya satu pribadi tapi sekian banyak pribadi yang ada pada satu komunitas tertentu, yang ada pada madzhab tertentu, atau pada pada agama tertentu. Uff.. hebat bener itu si Agus itu, bisa ngukur sebegitu dahsyat... mengukur satu diri saja sulit, mengukur orang lain satu saja sulit, kok bisa sih ngukur komunitas, ngukur madzhab, ihh..
Menilai diri saya sendiri saja sulit, padahal datanya saya tahu semua, apalagi kalau menilai orang lain. Jangan jauh-jauh, menilai istri, menilai anak, itu nggak mudah, karena kita tidak menguasai datanya, apalagi orang lain.

Terus bagaimana kita mengukur kebenaran?
Semua firman, entah di agama manapun, sepanjang itu adalah firman, maka itu adalah dalil kebenaran, itu adalah hujjah kebenaran. Kita tidak membahas apakah firman itu kemudian sudah ditambah atau dikurangi oleh orang-orang tertentu dan seterusnya, kita tidak membahas itu. Saya sedang menengok tentang bahwa wahyu, naqli, firman, ayat-ayat Alloh, itu adalah kaidah kebenaran, validator kebenaran, alat ukur kebenaran pertama. Tapi apakah bisa jika hanya dengan ayat? Nah, nanti terkait dengan validator yang kedua, yaitu dengan al-aql.
Yang disebut dalil aqli adalah buah-buah, hasil-hasil, keputusan-keputusan, kesimpulan dari mekanisme berfikir, tetapi dibatasi oleh koridor-koridor kaidah aql, sementara aql adalah sesuatu yang pyur spiritual, yang ada dalam diri kita, yang dia selalu mengajak bersyukur kepada Tuhan, kepada Alloh, dan dia selalu mengajak kepada kebenaran dan surga.
Ada kaidah validator yang ketiga, yaitu alat ukur kebenaran adalah nurani. Dia tidak bekerjasama dengan otak. Nanti ilmunya disebut dengan, mungkin bahasa dimasyarakat disebut dengan ilmu laduni, misalnya, dalam bahasa filsafat disebut dengan ilmul-hudhur. Sementara, kalau melibatkan mekanisme otak, itu disebut ilmunya ilmu rasional, ilmu persepsional, ilmu logika, ilmu filsafat, dan dalam bahasa teknis disebut dengan ilmul-husul.

Sedikit tambahan, kalau kita sudah punya alat ukur yang benar, tapi kalau cara penggunaannya salah, itu hasil pengukurannya juga tidak benar. Kita tahu alat untuk mengukur, ini ada arusnya atau tidak, itu sering disebut dengan testpen, testpen adalah alat ukur keberadaan arus di dalam kabel. Apakah alat ukur itu sehat? ya sehat, stabil? ya stabil, relevan? ya relevan, tapi kalau cara menggunaannya salah, ya..., maka tidak terjadi fungsi pengukuran yang benar. Jadi, kalaupun kita sudah faham alat ukur, tapi kalau cara pakai, cara mengukur itu salah, jadi nanti ada juga kaidah-kaidah cara menggunakan alat ukur.

Kemudian, apakah perilaku yang salah? Perilaku yang salah adalah sikap-sikap kita, entah sikap fisik, entah sikap fikir, entah sikap hati, yang betentangan dengan kebenaran, itu disebut sebagai sikap yang salah. Ya, ada pemahaman yang salah, ada sikap yang salah. Sikap yang salah biasanya didahului dengan pemahaman yang salah. Pemahaman yang salah biasanya didahului oleh ketidak-cermatannya terhadap informasi dan cara berfikirnya.

Andai diantara teman-teman ada yang hendak sharing, mengkritisi atau mempertanyakan, silahkan call langsung ke 0817449295 (proXL) pada jam 10-12 WIB siang/malam. Mohon dimaafi, Email dan SMS kami nonaktifkan, karena tidak mampu melayani. (salam kami: siwo salatiga).
Bagi yang berkenan untuk SHARE ke FB, Tweeter, dll, dipersilahkan. Semoga berkah.