Kontributor Topik:
Mas Alwi, Purwakarta, 26 Maret 2009.
Penyiar: Dave Ameral.
Bagaimana Siwo korelasinya dengan sebuah hadist Nabi yang menerangkan bahwa suatu hari nanti akan terjadi perpecahan 73 golongan, hanya satu yang benar, gitu Siwo ya....
Kurang lebih pada umur 22 tahun, muncul sebuah pertanyaan, "Kenapa saya muslim?" "Atas kehendah siapa sih saya kok muslim?". Setelah dilihat mundur, oo.. ternyata kehendak orang tuaku, kehendak masyarakatku. Jadi saya merasa dimasukkan kedalam Islam oleh lingkungan saya. Seandainya lingkungan saya itu atheis ya mungkin saya juga akan dimasukkan ke atheis.
Padahal saya ini mau beli baju saja milih, berteman juga milih-milih, apalagi kalau teman hidup.... hingga suatu fase saya merasa, ada sesuatu yang mengerikan. Bagaimana mungkin, lha yang kecil-kecil saja saya harus memilih, lha.. bagaimana dengan agama, kok saya mau saja dipilihkan.... tidak milih sendiri.... gitu.
Ya, saya menjadi orang beragama, waktu itu saya menjadi muslim, ternyata kemusliman saya itu dimasukkan, bukan masuk, tapi dimasukkan. O.. terjadilah disitu pergulatan. Sementara itu, masing-masing agama mengatakan, agama kami yang paling benar, agama B mengatakan, kami yang paling benar, agama C mengatakan, kami yang paling benar. Ini gimana ini?
Singkat cerita, saya menyatakan masuk Islam pada 5 Febuari 1985. Jadi, saya belum lama masuk Islam. Tapi begitu saya masuk Islam, aduuh, tanggungan saya tidak lebih ringan. Lho.., ini ada Islam A, Islam B, Islam C, Islam G, Islam L, Islam S, Islam X. Ih.., banyak sekali. Sampai akhirnya saya mendapati hadis itu, bahwa ummatku nanti akan berfirqoh-firqoh. Saya sangat serius mengkaji & mentaskhihkannya, meminta pendapat dari tokoh A, tokok B, dan seterusnya, tentang hadist ini. Akhirnya saya dapat jawaban yang sangat simple, yang mudah saya terima. "Dik, nggak usah pakai hadist ini dik, agar mudah", kata Pak Kyai. "Kita dapati, kan kenyataannya memang banyak berbeda-beda, banyak madzhab-madzhab, semua menyatakan Islam tapi madzhabnya berbeda-beda, komunitasnya berbeda-beda. Jadi nggak pakai hadist ini pun kenyataannya sudah banyak perbedaan, banyak firqoh-firqoh, begitu kan?" Oh..., akhirnyakan saya harus milih yang mana ya?
Akhirnya, singkat cerita, saya harus mempunyai satu pilihan saat ini juga, sambil mencari yang lebih bermutu. Kalau saya menunggu harus memahami semua dulu, baru kemudian saya tentukan pilihan..., kapan..? mungkin sampai mati saya belum dapatkan.
Akhirya saya mendapatkan satu formula bahwa, "Saat ini saya harus dalam keyakinan, tapi sekaligus dalam keraguan". Maksud saya, saya harus yakin dengan kebenaran yang saya fahami saat ini, tapi saya tetap harus meragukan, bahwa ada kebenaran yang lebih tinggi dari kebenaran yang saya fahami saat ini. Dan itu saya pakai sampai sekarang. Jadi saya selalu mempunyai satu halte yang pasti, tetapi siap untuk berpindah ke halte lain yang lebih bermutu. Ya begitulah akhirnya, setiap ada Islam yang aneh, justru menarik saya. Setiap ada firqoh yang aneh, apalagi yang banyak digugat oleh masyarakat, yang banyak disesatkan, bahkan disesatkan oleh pemerintah, saya justru tertarik untuk mempelajari itu, jangan-jangan disana ada kebenaran. Karena, yaa.., kita tahu kan, banyak isu-isu, orang berkomentar asal komentar, orang bercerita asal cerita. Aduh..., simpang siur berita itu sangat luar biasa. Banyak informasi-informasi yang mengajak saya untuk membenci firqoh tertentu, tapi justru ketika saya masuk ke firqoh itu... lho.. lho.. lho.. kok terbalik dengan informasinya. Oo.. itu sering saya alami, berkali-kali, puluhan kali. Akhirnya saya mengambil satu formula begini: "Kalau mau tabayyun ya harus kedalam, kalau mau tabayyun ya harus ke pihak pertama, jangan ke pihak kedua, apalagi sama orang yang tidak suka". Kalau mau klarifikasi itu harus ke dalam, kepihak pertama, jangan ke mass media. Kacau kalau kita tabayyun-nya ke mass media, sedangkan mass media lebih pada mengejar oplah. Kacau deh. Jadi, misalnya, ini dinyatakan oleh masyarakat kita bahwa ini sesat, hati-hati. Kalau misalnya ingin tahu sesat atau tidak, maka masuklah kedalam, pelajari kedalam, nanti kita akan dapat informasi yang pertama, lebih orisinal daripada kita mendengar informasi-informasi dari luar, yang belum tentu dia memahami masalahnya, dan mungkin dia berkomentar asal berkomentar.
Betul saya membutuhkan informasi dari televisi, dari koran, dari majalah, tapi bukan saya jadikan sebagai sumber informasi, itu hanya saya jadikan sebagai tambahan data saja. Untuk menempatkan sebagai sumber informasi, saya harus masuk ke tangan pertama. Karena saya sudah sekian puluh kali terjebak oleh informasi.
Di dalam agama, saya diajari bagaimana aturan informasi dan komunikasi, itu dahsyatnya luar biasa, sayangnya itu tidak sampai ke saya waktu itu. Dan sampai sekarang, bagaimana tata aturan informasi dan komunikasi itu, kayaknya nggak sampai ke masyarakat. Padahal kita sangat diajari, ada ilmu tentang musnad, ada ilmu tentang isnad, ada jarh wa ta'dil, ada ilmu tentang rowi, itu semua mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus berhati-hati dalam menempatkan sesuatu sebagai sumber informasi. Kalau sumbernya kotor, semua informasinya akan berbau kotor. Bahkan andai sumbernya bersihpun, namun jika cara berfikir kita kotor, kita akan menangkap yang bersih itu menjadi terbias dengan kekotoran fikiran kita yang menjadi alat penyerap informasinya. Dan sekarang ini untuk mencari sumber informasi yang valid itu, waduuh, sulitnya Mas.. Makanya hati-hati, jangan tergesa-gesa menerima dan jangan tergesa-gesa menolak. Apalagi menilai, apalagi menghakimi, apalagi menghakimi sesat. Aduuh... Ya Alloh, apapun yang terjadi pasti ada pendidikan dari-Mu, berikan kami kekuatan agar kami bisa mengambil hikmah dari kejadian-kejadian, yang tak semestinya itu terjadi, tapi karena ulah ketergesa-gesaan kita, karena ulah ketidak-proporsionalan kita, sehingga hal-hal itu terjadi.
Jadi kalau saya menanggapi pertanyaannya Mas Alwi... Hallo Mas Alwi, mau hadist itu dipolemikkan shoheh dan tidaknya, mutawatir dan tidaknya, ma'ruf dan tidaknya, tetapi kenyataan itu memang seperti itu kan?
Ya, begitulah kira-kira yang bisa saya tanggapkan ke Mas Alwi. Terimakasih atas partisipasinya dan mudah-mudahan tidak puas, ya Mas Alwi....
Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya. |