Kontributor Topik:
Mas Alwi, Depok, 02 April 2009.
Penyiar: Dave Ameral.
Bagaimana Nyambung masalah taqdir tadi Siwo, ada sebuah hadist, kalau nggak salah arti terjemahan bebasnya itu, bahwa seseorang telah berusaha kebaikan, dan jarak antara dia dan surga itu tinggal sejengkal, tapi taqdir mendahului dia, lalu masuklah dia kedalam neraka, dan sebaliknya, orang berbuat kejahatan, antara nereka dan dia tinggal satu jengkal, tapi taqdir mendahului dia masuk surga. Nah, begini Siwo, korelasinya dengan bil qodri khoirihi wa syarrihi minallohi ta'ala, itu Siwo, terimakasih Siwo, Assalamu'alaikum.
Saya akan mencoba melalui sunnatulloh, dalam hal ini tentang hukum sebab-musabab. Sepanjang yang saya pelajari, disana ada satu hukum pasti bahwa adanya akibat itu memastikan adanya sebab. Tidak akan pernah ada akibat kalau sebabnya tidak ada. Jadi akibat itu dia ada karena adanya sebab. Dari perspektif itu, kalau ada orang yang hampir masuk surga tetapi tiba-tiba dia menjadi ahli neraka, apakah itu mungkin? Mungkin. Apakah itu pilihannya? Jelas. Kalau tidak pilihannya, lucu deh. Kalau misalnya Alloh yang membuat seperti itu, masa' yang dihukum orangnya? Nggak dong. Ya, kalau ada orang berbuat jahat tapi Alloh yang menyetir dia berbuat jahat, yaa.. yang disalahkan jangan orang itu tetapi yang nyetir, siapa? Alloh, gitu ya!. Jadi tidak mungkin Alloh memasukkan orang kedalam neraka karena yang bukan sebab-sebab dari orang itu sendiri, itu tidak mungkin, itu nanti kita membahas pada sifat-sifat al-'adl Ilahi. Dari sifat keadilan Alloh yang Maha Tak Terbatas, ya paling tidak kita mampu meraba melalui logika kita, itu tidak mungkin. Kalau ada mobil menabrak orang, itu kan yang menentukan bukan mobilnya sendiri tapi supirnya, akhirnya supirnya yang disalahkan.
Mungkinkah ada seseorang yang dia hampir saja masuk surga tapi mendadak tiba-tiba dia menjadi ahli neraka? Mungkin, kalau di akhir hayatnya dia menjadi musyrik, munafik, dan seterusnya. Lalu mungkinkah orang yang sebegitu dekat dengan neraka tiba-tiba dia menjadi ahli surga? Mungkinkah? Mungkin, karena dengan situasi tertentu kemudian dia mengambil sebab pertaubatan, sangat mungkin.
Bahwa setiap ukuran, setiap taqdir, setiap kadar itu dari Alloh. Ada kadar-kadar tertentu yang membawa seseorang itu naik menjadi lebih baik, ada kadar-kadar tertentu yang manakala itu dipilih oleh manusia akan membawa orang itu terpuruk ke lubang keburukan. Nah, kedua taqdir ini semuanya yang menentukan adalah Alloh. Kalau sebab buruk diambil maka terjadilah akibat keburukan. Siapa yang menentukan ada hukum seperti itu, adalah Alloh. Kalau kemudian ada seseorang mengambil sebab baik kemudian orang itu dapat akibat baik, pertanyaannya, siapa yang membuat kadar seperti itu bahwa akibat itu ada dari adanya sebab, siapa yang membuat itu? Yang membuat itu Alloh. Siapa yang memberi kadar itu? Yang memberi kadar Alloh. Siapa yang mentaqdirkan itu? Yang mentaqdirkan Alloh. Nah, kita bisa pandang dari sisi itu dan tidak menyalahi prinsip-prinsip tauhid. Gitu ya. Jadi ini hanyalah permasalah tafsir saja. Permasalah bagaimana kita memahami sebuah teks hadist. Satu kalimat hadist bisa dipahami berbeda oleh orang yang berbeda, sesuai dengan latar belakangnya, sesuai dengan kapasitasnya. Untuk itu maka kalau kita tidak mempunyai alat-alat untuk melihat, memaknai, dan mengartikan hadist, apalagi ayat, maka sebaiknya kita belajar dari syarah-syarah hadist atau tafsir-tafsir ayat. Jangan kita langsung meraba sendiri. Kurang lebih seperti itu.
Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya. |