Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya.

BAGAIMANA MENG-KOMPOSISI-KAN DALIL AQLI & NAQLI?

Kontributor Topik:
Mas Ibnu Aqil, Angke, 04 Juni 2009.
Penyiar: Dave Ameral.

Bagaimanakah posisi hujjah batin didalam diri manusia manakala kita memahami hujjah dhohir itu apa yang dari Rosul? Bagaimana kita memahami prosesnya apa yang disebut dengan ijtihad, apakah itu posisi ilmu khusul ataukah itu ilmul khudur? Lalu bagaimana kita mengkomposisikan tentang dalil aqli, hukum aqli, bahwa kita ingin tahu dimanakah letak hukum aqli yang masuk kedalam hukum-hukum syar'?




Hujjah itu yang saya tahu ada dua macam yang kedua-duanya harus diberlakukan bersama, tidak bisa hanya diambil salah satu. Yaitu hujjah naqliyah dan hujjah aqliyah. Dalil itu merupakan posisi tengah antara "dal" dan "madlul". Jadi dalil itu hanya berlakunya pada manusia-manusia yang dia berfikir, kalau tidak pada manusia yang berfikir, dalil itu tidak berfungsi apa-apa. Jadi dalil itu sesuatu yang ada dalam diri manusia, bukan diluar diri manusia. Sebagai contoh, kalau ada suara ketukan pintu itu namanya dal, madlulnya bahwa ada tamu. Untuk menghubungkan antara suara ketukan pintu dengan adanya tamu itu yang bisa memahami adalah orang yang berfikir. Kalau terkait dengan hujjah-hujjah dzohiriah, itu maksud yang dimaksud mungkin adalah dal tadi, bukan dalil, karena dalil itu adanya didalam diri manusia dan manusia yang berfikir. Tergantung apakah pemahaman seseorang dalam menghubungkan petunjuk dengan yang ditunjuk, antara ayat itu petunjuk dengan yang ditunjuk, itu bisa menghubungkan atau tidak, disitulah dibutuhkan adanya al-aqli.

Ijtihad adalah kegiatan menyimpulkan hukum dari yang umum kepada yang khusus. Yang berkegiatan disebut dengan mujtahid. Kegiatannya disebut dengan ijtihad. Jadi Ijtihad adalah hasil istimbad seseorang yang memenuhi syarat sebagai mujtahid, hasil istimbadnya disebut fatwa. Karena ijtihad itu melalui proses penyimpulan dan kegiatan penyimpulan itu menggunakan sistem berfikir maka ijtidad masuk kedalam ranah ilmul khusul, jadi kesimpulan dari ijtihad itu bisa salah dan bisa benar.

Lalu bagaimana komposisi naqli dan aqli terkait dengan hukum syar'? Naqli harus difahami dengan aqli, naqli tidak bisa diraih kecuali oleh aqli. Jadi naqli tidak bisa diraih dengan berfikir sembarang. Maka dari itu yang diperbolehkan untuk menafsiri ayat hanyalah mufassir, tidak boleh setiap orang menafsiri ayat, karena nanti bisa terjadi kekacauan. Meskipun orang-orang menafsirkan ayat itu dengan niat yang benar, namun tetap saja jika tidak memenuhi syarat sebagai mufassir maka dia tidak diperkenankan untuk menafsiri sebuah ayat. Niat baik itu penting, tapi caranya juga harus dengan cara yang benar.

Andai diantara teman-teman ada yang hendak sharing, mengkritisi atau mempertanyakan, silahkan call langsung ke 0817449295 (proXL) pada jam 10-12 WIB siang/malam. Mohon dimaafi, Email dan SMS kami nonaktifkan, karena tidak mampu melayani. (salam kami: siwo salatiga).
Bagi yang berkenan untuk SHARE ke FB, Tweeter, dll, dipersilahkan. Semoga berkah.