Kontributor Topik:
Mas Anto, Cibubur, 28 Mei 2009.
Penyiar: Dave Ameral.
Apa langkah-langkah yang harus kita lakukan agar kita bisa menjadi muslim sejati?
Untuk menjadi muslim yang sejati saya juga baru bisa mimpi. Kalau ada kalimat sejati, sebenar-benarnya, sesungguh-sungguhnya, yang hakikinya, hal-hal yang mutlak yang mendekat kepada nilai-nilai absolut seperti itu, saya hanya bisa angkat tangan. Yang seperti apakah muslim yang sejati itu? Itu saya masih berproses mencari dan terus mencari kearah sana. Mudah-mudahan saya bisa konsisten untuk itu. Gambaran global dari muslim yang sejati adalah muslim yang taslim. Taslim adalah tunduk dan bergantung senuhnya kepada Tuhan, tidak lagi punya dominasi diri, dominasi dirinya ia serahkan kepada Tuhan. Ketundukan yang total secara jasamani dan rohani, itulah taslim.
Kita ambil contoh kasus. Seseorang pada saat tertentu, misalnya dia sedang melakukan sholat. Mungkin pada saat ia sholat fisiknya taslim, jadi dia mengikuti aturan-aturan yang kita fahami aturan-aturan didalam fiqih sholat. Waktu takbir angkat tangan, waktu ruku' dia bungkukkan badan, waktu sujud dia taruh kepalanya ditanah, tetapi apakah indranya juga taslim, dibawah dominasi ketuhanan?. Apakah fikiran kita juga ikut taslim?. Kemudian kita lanjutkan lagi tentang hal-hal yang ada dalam hati kita. Apakah ego yang ada dalam nafs kita juga ikut taslim? Pada saat takbir apakah ego kita juga takbir? Pada saat ruku' apakah ego kita juga ruku'? Pada saat sujud apakah ego kita juga tengah sujud? Atau justru dia sedang pergi nggak tahu kemana?. Ada contoh kasus pada seseorang yang secara fisik taslim tapi fikirannya tidak, yaitu seorang prajurit yang tertangkap sehingga menjadi tawanan perang. Secara fisik sang prajurit sudah angkat tangan dan menyerah dan dia bersedia diperlakukan seperti apapun oleh musuhnya, tetapi fikirannya terus mencari cara agar dirinya keluar dari dominasi musuhnya, bahkan mungkin dipenuhi oleh rasa benci dan dendam.
Kita ambil lagi contoh kasus lain yang lebih serius. Dalam dua contoh kasus berikut ini kita perlu berhati-hati, karena terdapat perbedaan yang sepertinya tipis tetapi sebenarnya sangat tebal. Kita lihat dari sudut pandang tauhid, kita sedikit kaitkan antara tauhi dengan taslim. Contoh pertama adalah seseorang yang masuk pada nilai-nilai ketuhanan sampai ia menyatu dengan energi-energi ketuhanan, sehingga tangguh, sabar, konsisten terhadap kebenaran, rela atas semua yang terjadi pada dirinya, selalu berikhtiar dirinya, semua kewaspadaan niatnya ditujukan dalam rangka menghamba kepada Alloh dan meleburkan kediriannya kepada nilai-nilai ketuhanan. Contoh yang kedua adalah seseorang menggunakah hukum-hukum dan nilai-nilai ketuhanan tetapi untuk meraih target-terget yang sudah ditentukannya sendiri. Misalnya seseorang mengambil energi ketuhanan dengan cara kedermawanan, yang didalam kedermawanan itu terdapat energi ketuhana yang luar biasa, tetapi seseorang tersebut menggunakan energi kedermawanan untuk mengambil simpati masyarakat atau meninggikan posisinya di masyarakat. Perbedaan antara dua contoh diatas sepertinya sangat tipis, tetapi sesungguhnya sangat tebal, karena perbedaan itu terletak pada titik niat dan essensi tujuannya. Tujuan dari contoh yang pertama adalah untuk meleburkan dirinya dalam dominasi Tuhan, sedangkan tujuan dari contoh yang kedua adalah untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Contoh kasus pertama dia ingin menjadikan Tuhan sebagai dominasi dirinya, dia ingin menjadi muslim yang sejati. Sementara contoh kasus yang kedua, dia memanfaatkan energi-energi ketuhanan untuk meraih target dirinya. Bagaimana agar kita bisa mengarah kepada Islam yang sejati? Antara lain ya pasti harus dengan pembelajaran dan latihan pada dunia-dunia praktek. Intinya kita harus mempunyai management diri.
Mencari nafkah adalah bagian dari Perintah Tuhan. Manakala berbisnis dalam rangka melaksanakan perintah tersebut, maka bisnis bukan lagi sekedar menghasilkan uang, namun lebih dari itu, ketenteraman hati pun akan otomatis mengiringinya. Bisnis adalah salah satu medan penghambaan kita kepada Tuhan. Sedangkan laba atau rugi hanyalah sebuah konsekuensi logis sebagai akibat yang mengikutinya. Dengan demikian, sepanjang tujuan niat dan caranya benar, maka tidak ada kata gagal dalam bisnis kita. Ruginya baik, apalagi labanya. |